Negara sayamemang gila. Kami sangat gila pada permainan bernama sepak bola. Saat Inter Milan menjadi juara Liga Champions musim lalu, segerombolan pendukung fanatik klub kota mode ini berbondong-bondong turun ke jalan dan berpesta bagi tim yang seharusnya tidak punya kaitan emosional dengan mereka. Kala Jerman memukul Argentina dengan telak di PialaDunia 2010 lalu, konon di Maluku sekelompok orang membakar bendera Argentina tanda permusuhan.
Saat segala pertandingan PialaDunia berlangsung di tengah malam buta, mata kita melek kelas berat demi pertandingan-pertandingan Sepakbola. Antusiasme besar luar biasa, yang bahkan belum tentu bisa ditemukan di negara-negara peserta Sepak bola atau bahkan tuan rumah Afrika Selatan sendiri saat itu.
Kita memang gila sepak bola. Saya pernah melihat Senayan dibanjiri penonton yang membludak melebihi kapasitas 110.000 saat itu. “Diperkirakan terdapat 130 ribuan penonton yang membludak sampai kesentelban,” tulis berbagai media massa utamadi final Perserikatan 1984 kala itu.
Hanya dengan modal 10 ribu sampai 20 ribu rupiah, para Bonekdari Surabaya pun bisa membanjiri Jakarta yang jaraknya kurang lebih 1200 km atau setara Paris-Muenchen. Indonesia adalah sebuah negara besar di ujung timur Asia yang sangat gila Sepakbola. Bahkan pertandingan tarkam (tarikankampung) pun bisa disulap menjadi sebuah atraksi Sepakbola yang kemasannya mampu menyaingi Liga Indonesia sekalipun.
“Jika benar negerimu sehebat itu antusiasmenya pada sepak bola, kenapa dunia tidak pernah mendengar nama Indonesia di peta sepak bola?” tanya Markus Prast, Direktur Festival Film Pendek Regensburg yang jugapenggilatim St Pauli. Wah! Pertanyaan ini sama levelnya dengan pertanyaan “Negerimu begitu kaya akan rempah, minyak, emas, tambang, sawit, sumber daya laut dll tapi kenapa kok masih miskin?” Dua pertanyaan yang seperti mudah mencari jawabannya, namun sulit untuk bisa menjelaskannya dengan baik dan benar.
Indonesia memang kaya,. Tapi apa kita sadar bahwa kekayaan itu umumnya sudah bukan milik kita lagi? Sebagian besar minyak di negeri ini bukan lagi milik kita, Serupa dengan sepak bola yang sangat di antusiasi tapi apa iya kita benar-benar mengerti apa itu sepak bola. Apa benar yang namanya masuk semifinal adalah prestasi? Apa betul memukul Laos yang saat kita sudah main di Olimpiade masih dalam taraf berhasrat merdeka adalah sebuahprestasi? Apa iya menghajar Malaysia yang memang bukan negara sepak bola itu adalah sebuah prestasi?
Ayolah, kita masih di babak semifinal dan pertandingan itu belum juga dimulai. Simpan dulu euforia kemenangan atas Thailand itu. Gelar juara masih dua langkah lagi baru bisa diambil.
Betul kita haus akan prestasi, tapi saya rasa Anda sepakat dengan saya bahwa jika tolok ukurnya hampir dan hampir (seperti hampir final seperti saat ini) kita sudah sering melakukannya, bahkanlebihbergengsi, yaitu hampir lolos ke Olimpiade 1976.
“Dunia hanyamengenal sang juara, nomor dua hanyalah sang pecundang,” tegas Jose Mourinho kepada para pemainnya, pada pers dan pada dirinya sendiri setiap kali ia dan timnya akan turun bertanding. Inilah sikap sang pemenang, tak hanya puas pada pencapaian yang sifatnya masih belum tuntas itu.
“Prestasi tim nasional kita hari ini sangat membanggakan,” demikian lansir berbagai media. Berbagai talkshow telah mengundang elemen tim nasional maupun PSSI untuk datang menjadi narasumber, infotainment sibuk mengorek info terdalam para pemain, para gadis yang biasa mencerca sepak bola nasional sibuk berfoto bareng dengan para idola, kaus timnas pun sampai dipalsu hanya agar bisa memiliki edisi bernomor punggung dan nama.
Apa cuma segini saja target kita? Masuk semifinal dan kemudian bangga, itu pun hanya semifinal sebuah kejuaraan tingkat Asia Tenggara yang saat Vietnam masih berperang melawan kolonialisme Prancis, tim Merah Putih sudah bertarung di Olimpiade.
Saya tentu tidak mempermasalahkan segala puja puji yang dilontarkan, termasuk pengidolaan pada wajah ganteng pemain keturunan. Tapi, jalan kita masih dua langkah lagi. Itu pun hanya sekadar tetes bagi dahaga luar biasa bangsa kita yang memang tak pernah punya apa yang bisa dibanggakan dalam sepak bola.
Saat membaca tulisan ini, Anda mungkin akan sibuk menyebut saya skeptis, tidak nasionalis, dan lain sebagainya. Tapi apakah Anda menjamin jika mata silau kita itu membuat diri ini jemawa dan saat kegagalan itu datang, kita kembali sibuk mencerca, menjauhi stadion, tak lagi peduli pada sepak bola Indonesia? Padahal, kita orang Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar